Pagar Laut: Tirani yang Menjajah Lautan, Ancaman bagi Kedaulatan Bangsa

January 30, 2025
6 min read

Pagar Laut: Tirani yang Menjajah Lautan, Ancaman bagi Kedaulatan Bangsa

Dalam sejarah maritim Indonesia, laut bukan sekadar hamparan air asin yang membentang luas, tetapi ia adalah jantung peradaban yang menyatukan kepulauan Nusantara. Namun, bagaimana jadinya ketika laut yang seharusnya menjadi ruang hidup bersama justru dipagari, dibatasi, dan dikuasai oleh segelintir pihak? Itulah ironi yang kini terjadi di pesisir Tangerang, di mana pagar laut sepanjang 30,6 kilometer berdiri sebagai simbol ketidakadilan dan ancaman terhadap kedaulatan negara.

Laut yang Dipagari, Nelayan yang Terpinggirkan

Sejak berbulan-bulan lalu, nelayan di pesisir Tangerang kehilangan haknya untuk melaut dengan bebas. Pagar laut yang berdiri kokoh membelah laut menjadi ruang privat yang dikendalikan oleh korporasi, seakan-akan laut bisa dimiliki dan diperjualbelikan layaknya tanah daratan. Bagi para nelayan, ini bukan hanya soal sulitnya mencari ikan, tetapi ini adalah bentuk penjajahan baru—penjajahan oleh kekuatan modal yang mengabaikan hak masyarakat kecil.

Kholid, seorang nelayan yang berani bersuara lantang, menyebut pagar laut ini sebagai bukti nyata bahwa negara telah dikooptasi oleh oligarki. “Kami ini seakan-akan dikelola oleh korporasi, bukan oleh negara. Jika laut ini dikuasai oleh segelintir orang, maka anak cucu kami pasti akan miskin selamanya,” ungkapnya. Pernyataan ini bukan sekadar keluhan, tetapi cerminan dari betapa bobroknya sistem yang seharusnya melindungi rakyat.

Pemerintah Bungkam, Siapa yang Dilindungi?

Yang lebih mengkhawatirkan bukan hanya keberadaan pagar laut itu sendiri, tetapi sikap pemerintah yang terkesan lamban dan bahkan bungkam dalam mengungkap dalang di balik pemasangan pagar tersebut. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) masih berdalih bahwa mereka membutuhkan waktu untuk menyelidiki kasus ini. Namun, masyarakat bertanya: bagaimana mungkin sesuatu yang begitu nyata, yang sudah berbulan-bulan merugikan nelayan, masih saja dianggap sebagai misteri?

Dalam berbagai diskusi, muncul dugaan kuat bahwa pagar laut ini berkaitan dengan proyek-proyek reklamasi skala besar, seperti PSN (Proyek Strategis Nasional) dan PIK 2 (Pantai Indah Kapuk 2). Jika benar demikian, maka ini bukan hanya soal pagar laut, tetapi soal bagaimana kepentingan bisnis mampu menundukkan kewenangan negara. Ketika korporasi lebih berkuasa daripada pemerintah, maka kita patut bertanya: masihkah kita benar-benar merdeka?

Politik dan Kekuasaan di Balik Pagar Laut Wakil Ketua Komisi IV DPR, Bang Alex, juga angkat bicara mengenai lambatnya penanganan kasus ini. Ia menilai ada indikasi ketakutan KKP terhadap korporasi besar. “Kami sudah menuntut kepada Pak Menteri dan jajarannya untuk mengungkap siapa pelakunya, tetapi KKP masih menunggu waktu 20 hari untuk penyelidikan,” tegasnya. Ia juga mempertanyakan apakah pagar laut ini terkait dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) atau proyek PIK 2.

Nelayan Menuntut Transparansi dan Aksi Nyata Pak Kholid yang merupakan nelayan terdampak, merasa diabaikan oleh pemerintah. Ia menyebutkan bahwa dampak pagar laut ini sangat besar terhadap kehidupan nelayan. “Kami ini dirugikan. Dengan adanya pagar laut, kami harus memutar lebih jauh, mengeluarkan biaya lebih banyak untuk solar, dan penghasilan pun menurun drastis,” keluhnya.

Penegakan Hukum yang Dipertanyakan Masalah pagar laut ini tidak hanya mengenai dampak ekonomi, tetapi juga menyentuh aspek hukum. Aktivis lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Zenzi Suhadi, menegaskan bahwa pagar laut ini harus ditindak dari tiga aspek hukum: pidana lingkungan, administrasi tata usaha negara, dan tindak pidana korupsi. Ia juga menyoroti peran KKP dalam kasus ini dan menyarankan pembentukan Satgas khusus untuk menangani reklamasi dan penambangan pasir di Indonesia.

Presiden Turun Tangan, Pagar Laut Dibongkar Setelah kasus ini viral dan mendapat sorotan luas, Presiden Prabowo Subianto akhirnya memerintahkan pembongkaran pagar laut tersebut. Namun, perintah eksekutif ini masih membutuhkan komitmen dari KKP dan pihak terkait untuk mengusut tuntas siapa pelaku sebenarnya dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan.

Pengamat Politik dan Nelayan Sebagai Simbol Perlawanan Pengamat politik Adi Prayitno memuji keberanian Pak Kholid sebagai simbol perlawanan rakyat kecil terhadap oligarki. “Sosok Pak Kholid ini adalah cermin keberanian rakyat kecil yang tak gentar melawan kesewenang-wenangan,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa keberanian Kholid seharusnya membuat aparatur negara merasa malu.

Laut Diprivatisasi: Sebuah Ancaman bagi Kedaulatan Bangsa

Laut adalah aset strategis bangsa. Ia bukan hanya jalur transportasi dan sumber ekonomi, tetapi juga simbol kedaulatan. Ketika laut mulai dikapling dan diperjualbelikan, kita sedang berjalan menuju situasi di mana batas-batas negara tidak lagi ditentukan oleh garis pantai, melainkan oleh kepentingan pemilik modal.

Dalam kasus pagar laut Tangerang, bukan hanya nelayan yang dirugikan, tetapi juga integritas hukum dan tata kelola negara. Fakta bahwa ada Hak Guna Bangunan (HGB) yang sudah diterbitkan di atas perairan menegaskan bahwa proses privatisasi laut sedang berlangsung secara sistematis. Jika ini dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan wilayah-wilayah pesisir lainnya akan mengalami nasib yang sama—dijual secara diam-diam hingga suatu hari rakyat tersadar bahwa mereka telah kehilangan akses terhadap laut yang seharusnya menjadi milik bersama.

Perlawanan: Harapan Terakhir bagi Laut Kita

Di tengah ketidakberdayaan pemerintah, justru rakyat yang harus turun tangan membela lautnya. Nelayan, aktivis lingkungan, hingga akademisi harus bersatu dalam satu suara: menolak segala bentuk privatisasi laut. Desakan kepada pemerintah agar segera membongkar pagar laut ini bukan hanya soal kepentingan nelayan, tetapi soal menegakkan keadilan dan menjaga kedaulatan negara dari cengkeraman oligarki.

Presiden Prabowo Subianto telah memerintahkan pembongkaran pagar laut ini. Namun, tugas kita belum selesai. Bongkar pagar bukan sekadar meruntuhkan bambu-bambu yang tertancap di laut, tetapi juga merobohkan mentalitas korup yang membiarkan laut dijual demi kepentingan segelintir orang. Jika hari ini kita diam, esok kita akan menyaksikan lebih banyak laut yang berpagar, lebih banyak nelayan yang kehilangan mata pencahariannya, dan lebih banyak kedaulatan yang tergadai di tangan pemodal.

Kesimpulan: Laut untuk Rakyat, Bukan untuk Oligarki

Kasus pagar laut di Tangerang adalah gambaran nyata bagaimana kebijakan yang tidak pro rakyat dapat merugikan masyarakat kecil. Dengan adanya tekanan publik dan perhatian nasional, diharapkan keadilan dapat segera ditegakkan, serta kehidupan nelayan kembali normal tanpa ada hambatan dari kepentingan korporasi besar.

Kasus ini menjadi pembelajaran bahwa kekuatan rakyat tak bisa diremehkan, dan suara nelayan seperti Pak Kholid adalah nyala api kecil yang bisa membakar ketidakadilan yang lebih besar.

Kasus pagar laut di Tangerang adalah pengingat bahwa ancaman terhadap kedaulatan tidak selalu datang dalam bentuk invasi militer, tetapi juga dalam bentuk privatisasi sumber daya alam yang dilakukan secara sistematis dan terselubung. Ketika laut yang seharusnya menjadi ruang publik dikapling oleh korporasi, maka kita kehilangan lebih dari sekadar akses terhadap perairan—kita kehilangan hak kita sebagai bangsa yang berdaulat.

Laut adalah identitas kita, kekuatan kita, dan masa depan kita. Jika kita membiarkan laut dijual, maka kita sedang menggali kubur bagi generasi mendatang. Kini saatnya kita bersuara lantang: Laut untuk rakyat, bukan untuk oligarki!